Search
Latest topics
Musashi dan Petarung Bisnis Kita
Page 1 of 1
Musashi dan Petarung Bisnis Kita
Musashi dan Petarung Bisnis Kita
Dilahirkan di dusun Miyamoto tahun 1584, Musashi sesungguhnya seorang ronin,
samurai gelandangan yang tak bertuan. Sejak usia tujuh tahun, ia hidup tanpa
orang tua, ibunya sudah menutup mata, sedangkan si ayah tak diketahui
keberadaannya. Mungkin juga ia telah ikut meninggal dunia. Musashi yang
menumpang tinggal di rumah pamannya, tumbuh menjadi pemuda yang berkemauan
keras dengan sosok tubuh melebihi usianya.
Tanpa diketahui jelas asal-muasalnya, tiba-tiba saja Musashi telah mahir
bermain kendo, ilmu pedang khas Jepang. Pada usia 13 tahun, ia sudah
menantang duel Arima Kihei, seorang samurai dari aliran Shinto Ryu. Lawannya
itu dirobohkan dan dipukulinya dengan tongkat hingga binasah. Kemudian pada
usia 16 tahun, ia berkelahi dengan seorang samurai tangguh dan kembali
muncul sebagai pemenang. Mulai saat itu, ia memutuskan pergi bertualang
mengikuti "Jalan Pedang".
Menurut satu kisah, tak lama kemudian Musashi terlibat dalam perang
habis-habisan antara kubu daimyo (tuan tanah) Ieyasa melawan klan Hideyori
dengan para pengikutnya. Tempat pertempuran di padang besar Seki ga Hara.
Konon dalam pertempuran tiga hari itu tercatat 70.000 orang tewas; Musashi
sendiri di pihak pasukan yang kalah berhasil meloloskan diri.
Satu versi lebih jauh menyebutkan, Takuan, seorang pendeta Zen dengan
kecerdikannya kemudian berhasil "menawan" Musashi di sebuah sel gelap di
puri milik yang dipertuan Ikeda. Di sana selama tiga tahun, Musashi ditahan
untuk mendalami bertumpuk-tumpuk dan beragam buku. Mulai dari seni perang
dari Sun Tzu, buku-buku mengenai Zen hingga ke berjilid-jilid kitab mengenai
sejarah Jepang.
Takuan, guru rohaninya, yang kerap bersikap keras itu menasihati Musashi
dengan kata-kata penuh makna:
"Anggaplah kamar ini sebagai rahim ibumu dan bersiaplah untuk lahir kembali.
Kalau kau melihatnya hanya dengan matamu, tak akan kau melihat apa-apa
kecuali sel yang tak berlampu dan tertutup. Tapi pandanglah lebih saksama,
lihatlah dengan akalmu dan berpikirlah. Kamar ini dapat menjadi sumber
pencerahan, pancuran pengetahuan yang ditemukan dan diperkaya oleh
orang-orang bijak di masa lalu. Terserah padamu, apakah kamar ini menjadi
kamar kegelapan ataukah kamar penuh cahaya". (lihat novel Musashi, karya
Eiji Yoshikawa dalam terjemahan Tim Kompas).
Ternyata Musashi yang terkenal bandel dan liar itu mau patuh menjalani
penggemblengan berat tersebut. Setelah melewati masa pembelajaran tiga
tahun, ia dibebaskan dan boleh berkelana lagi. Saat itu usianya 21 tahun.
Dalam kembaranya menjelajahi berbagai provinsi, ia terlibat banyak
pertarungan dengan para master samurai. Bukan sekadar jagoan, tetapi yang
dihadapi adalah para jawara sejati. Yang namanya telah kesohor di seantero
negeri dan membuat lawan sebelumnya sudah keder. Toh Musashi tak pernah
kenal gentar. Satu per satu mereka dihadapi dan dipecundanginya. Tak peduli
apakah mereka itu jago permainan pedang, juara tombak kembar ataupun ahli
silat gabungan rantai dengan sabit. Dalam berbagai duel itu, Musashi tak
selalu memakai pedang sungguhan, kadangkala ia hanya menggunakan pedang kayu
pendek. Tampaknya manusia di belakang senjata itu lebih menentukan dari
kecanggihan alat yang dipakai.
Selama kurun usia 13 sampai 29 tahun, Musashi telah terlibat duel tidak
kurang dari 60 kali. Sejauh itu, ia senantiasa muncul sebagai pemenang tak
terkalahkan. Namanya menjadi legenda dan disebut-sebut dalam banyak kronik,
catatan harian dan cerita rakyat dari Tokyo sampai Kyushu.
Sewaktu mendekati umur 30 tahun, Musashi memutuskan berhenti berkelahi. Ia
lebih terlibat dalam pendalaman dan perenungan mengenai prinsip-prinsip dan
strategi Jalan Semesta (Tao). Menengok kembali jalan kehidupannya ia
berujar: "Kemenangan-kemenangan yang lalu bukan disebabkan, karena saya
menguasai betul strategi. Mungkin itu lebih banyak oleh kemampuan alami atau
Hukum Langit ataupun strategi perguruan lain yang kurang bagus (inferior)".
Setelah berhenti bertarung, siang dan malam Musashi melakukan pencarian ke
dalam diri dan baru menemukan Jalan Strateginya pada usia 50 tahun. Ia
menyimpulkan, bila kita telah menguasai Tao Strategi, tak ada hal lain yang
tak dapat kita pahami. Katanya pula, "Anda akan melihat Tao itu di dalam
segala sesuatunya."
Musashi pun secara konsekuen ingin membuktikan ucapannya itu. Setelah
berhenti menjadi petarung, ia menekuni seni lukis dan seni patung.
Karya-karyanya dengan tinta dan pit dihargai tinggi di Jepang. Ia melukis
naga, para dewa, burung, bangau, bunga, pohon dengan taksu atau kekuatan
dalam. Buah karyanya dianggap hidup dan indah, hasil dari penyaluran energi
batin yang terfokus. Sepertinya kalau inti dasar kehidupan sudah diketahui,
kerja yang lain juga dapat dipahami.
Dalam usia 59 tahun ia mengundurkan diri dari kehidupan orang ramai. Ia
hidup menyendiri di sebuah gua sembari melakukan permenungan dalam. Kemudian
Musashi menuangkan hasil pergumulan batin dan raganya itu dalam sebuah buku
berjudul Go Rin No Sho atau Kitab Lima Cincin. Ia menyelesaikan buah
kalamnya itu beberapa minggu sebelum ia meninggal dunia (61 tahun).
Kini karyanya itu sudah muncul dalam berbagai versi terjemahan bahasa
Inggris: A Book of Five Rings. Di antaranya dialihbahasakan dan diberi bumbu
oleh Victor Harris (1974) atau tanpa disertai komentar oleh Thomas Cleary
(1993).
Menilik isinya, tampaknya Musashi ingin menyatu-padukan strategi perang atau
tarung tanding (duel) itu dengan Jalan Kehidupan Semesta yang mesti
ditapaki, kalau ingin berhasil. Yang ditulis bukan semata-mata teknik atau
keterampilan berkelahi, melainkan juga falsafah mengenai bushido
(kesatrian), pengenalan diri sendiri dan orang lain, kedisiplinan tinggi
dalam berlatih, memahami secara intuitif hal-hal yang tak kasat mata,
hati-hati dengan batu sandungan termasuk kerikil dan sebagainya. Jelas
falsafah hidup yang melatarbelakangi pandangannya berasal dari Zen, Shinto,
dan Konfusianisme.
Dalam tiga dekade terakhir ini yang paling banyak menimba inspirasi dari
Kitab Lima Cincin itu adalah para pebisnis dan kaum manajer. Khususnya dari
Jepang dan Amerika. Keluasan visi, ketajaman strategi, kejernihan sikap,
kepegasan gerak, dan ketepatan waktu dalam bertindak menjadi satu kesatuan
yang melebur, membaur tak terpisahkan. Isi buku itu memang mengandung makna
yang berlapis-lapis yang menarik dijadikan titik tolak memahami strategi dan
perilaku tokoh lain. Bahkan ada yang menganggap Kitab Lima Cincin itu
sebagai jawaban Jepang terhadap konsep MBA Amerika.
Para Pendekar Bisnis Kita
Musashi sebenarnya lebih layak untuk disebut sebagai seorang otodidak. Ia
sendiri yang membimbing dirinya untuk mendalami berbagai macam ilmu. Salah
satu sumber yang banyak ditimbanya niscaya adalah buah pikiran Sun Tzu.
Dikenal sebagai ahli strategi besar-kalau bukan yang terbesar-Sun Tzu hidup
hampir 2000 tahun mendahului Musashi (400-320 tahun sebelum Masehi). (Saya
suka berpikir betapa hebatnya orang-orang kuno seperti Lao Tse, Konfusius,
Socrates, Sun Tzu, sementara kebanyakan dari kita yang hidup pada milenium
ketiga ini cuma segini-gini saja.)
Kalau Musashi mendekati strategi melalui contoh-contoh dari tarung-tanding
(duel), Sun Tzu lebih membahasnya lewat skenario peperangan. Ada beberapa
kalimat dari kitab Seni Berperang (The Art of War) Sun Tzu yang amat
membekas di hati Musashi. Selama tiga tahun dalam masa penempaan, Musashi
kerap membacanya secara lantang berulang-ulang dengan alunan bagaikan
nyanyian:
"Barangsiapa mengenal seni perang, tak akan serampangan ia dalam gerakannya.
Ia kaya karsa dalam membatasi kemungkinan. Karenanya Sun Tzu berkata,
'Barangsiapa mengenal dirinya sendiri dan mengenal musuhnya, ia senantiasa
menang dengan mudah. Barangsiapa mengenal langit dan bumi, ia menang atas
segalanya.''"( Musashi, karya Eiji Yoshikawa, alih bahasa Tim Kompas).
Dalam versi terjemahan lain dari buku Sun Tzu, ia dapat berbunyi "Kenali
musuhmu, kenali dirimu sendiri dan kemenanganmu tak akan terancam. Kenali
medan, kenali iklim, maka kemenanganmu akan lengkap".
Buah kalam Sun Tzu itu sudah terlalu banyak diterjemahkan dan ditafsir,
bukan saja oleh ahli militer melainkan juga oleh para pakar manajemen.
Misalnya oleh profesor Wee Chow Hou (Sun Tzu, War & Management, Sun Zi Art
of War) dan lewat serangkaian buku tipis Khoo Keng-Hor, konsultan dan
pembicara spesialis Sun Tzu, oleh Thomas Cleary, Donald Krause, dan
sebagainya. Mungkin karena sudah begitu merebaknya ungkapan mashur Sun Tzu
itu, untuk orang awam ia sepertinya sudah kehilangan daya getarnya. Betapa
betulnya frase itu, tetapi bagi banyak orang yang sudah kerap mendengarnya,
ia dianggap "biasa", "telah dimengerti" atau bahkan "sudah basi". Kecuali
bagi pribadi-pribadi seperti Musashi yang mengulangi kata-kata kebenaran
tanpa rasa bosan, menghayatinya dengan kegairahan senantiasa dan kemudian
menjalankannya dengan konsekuen. Tampaknya ini yang membuat ia menjadi
petarung kehidupan yang tak terkalahkan.
Dari berbagai buku, majalah dan harian kerap muncul kisah sukses dari
bermacam-macam orang. Sejumlah di antaranya berasal dari para petarung
bisnis yang cerita suksesnya kerap bermula dari keadaan papa, melarat hingga
menjadi baron kaya-raya (from rags to riches).
Demikian dapat dibaca kisah hidup dari para pebisnis dunia dan juga sejumlah
jago lokal. Bermunculan nama-nama seperti Bill Gates, Sam Walton, Warren
Buffet, Matsushita, Soichiro Honda, Akio Morita hingga Sudono Salim, Eka
Cipta, Mochtar Riadi, Ciputra, Hari Darmawan, dan sebagainya. Sebelum krisis
moneter yang menerpa negeri ini mulai kuartal keempat tahun 1997, hampir
setiap hari terbaca di koran, bagaimana beberapa kelompok setiap kali
melakukan investasi baru dalam skala besar. "Duit mereka seperti tak ada
habis-habisnya," demikian pikir saya tanpa mengerti juntrungannya.
Terlepas dari perbedaan besar, saya coba menarik persamaannya. Sama seperti
Musashi, mereka rata-rata adalah manusia yang memiliki kemauan keras, energi
tinggi dan rasa percaya diri yang tebal. Sebagai wiraswasta, orientasi
mereka memang pada nilai ekonomi, sebagaimana kaum politisi coba mengejar
tampuk kekuasaan. Atau kelompok seniman berupaya meraih keindahan, sementara
para ilmuwan berkiblat pada nilai kebenaran. Ini kalau kita bicara yang
sejatinya, sebab dalam kenyataan, kerap terjadi pencampur-adukkan berbagai
nilai-yang dapat menguntungkan atau malah merugikan.
Kemudian lambat-lambat saya mengetahui, mereka itu menerapkan formula ajaib
"OPM" (Other People's Money). Dengan memanfaatkan uang pihak ketiga
(investor, pasar modal, bank, obligasi) mereka dapat melesat tinggi bagaikan
roket. Dengan kekuatan sendiri, kita mungkin dapat mengangkat benda sampai
sejumlah kilo, tetapi dengan pengungkit (leverage) orang dapat
melipatgandakan kekuatannya. Sebenarnya, formula OPM bukanlah hal baru, di
Barat orang sudah mengenalnya sejak lama, sejak berdirinya lembaga-lembaga
keuangan. Namun, yang istimewa di Indonesia, orang melakukannya dengan
nekad, malah dengan metode mark-up (menaikkan perhitungan), mereka dapat
mengeruk seketika keuntungan ekstra.
Kunci suksesnya sebenarnya terletak pada perhitungan yang teliti dan
kepekaan untuk membaca perubahan musim, cuaca dan medan. Sewaktu negeri ini
ditimpa krisis moneter, sejumlah pendekar bisnis kita-yang melesat dengan
OPM-langsung jatuh bergelimpangan. Selama ini mereka hidup dalam situasi
semu yang berkepanjangan. Stabilitas politik, ekonomi, sosial, semuanya
serba semu. Ketika momen kebenaran (moment of truth) berupa penyesuaian
nilai tukar rupiah terhadap dolar terjadi, mereka benar-benar terpelanting.
Berhubung lama hidup terbenam dalam kesemuan, sudah hilang kepekaannya dalam
menyiasati perubahan "langit" dan "bumi". Maksudnya, perubahan berupa
bergeraknya siklus bisnis, struktur pasar, resesi, krisis regional, dan
dampak lingkungan sekitarnya.
Sewaktu revolusi "tom yam kun" (krisis moneter) meletus di Muangthai Juni
1997, para pendekar bisnis kita rata-rata hanya duduk anteng. Padahal, ada
waktu antisipasi hampir enam bulan sebelum krisis itu menjalar ke Indonesia.
Yang mereka sadari hanya kekuatannya berupa kelicinan dan kepercayaan diri
besar ditambah dengan jaringan koneksinya yang luas. Kurang disadari di
balik kekuatannya itu melekat sejumlah kelemahan besar. Semboyan yang biasa
dianut adalah "semua itu bisa diatur". Rekayasa intens dijalankan dengan
mengabaikan berlakunya hukum-hukum alam. Ini jauh berbeda dengan Musashi
atau Sun Tzu yang senantiasa siaga terhadap kelemahan diri dan kemungkinan
yang terburuk.
Sekalipun demikian, saya tak senantiasa setuju dengan tafsir atas Sun Tzu
atau Musashi. Sepertinya analogi perang atau tarung pedang itu tak selalu
sejalan dengan persaingan di dunia bisnis. Ada kompetisi, tetapi ada juga
koopetisi. Kawan dan lawan dapat saja bertukar tempat tergantung posisinya.
Garis yang tegas kadang juga susah ditarik. Misalnya, ada kerja sama dengan
mitra bisnis, tetapi sekaligus bukan tak mungkin di dalamnya ada persaingan
terselubung. Bahkan dalam satu grup perusahaan, "tendang-menendang" kerap
juga terjadi. Hal ini tak selalu bermula dari itikad ingin bermusuhan,
tetapi lebih karena masing-masing ingin maju mengembangkan diri. Senantiasa
memang ada ketegangan antara dinamika dengan ketertiban.
Walaupun begitu, ada hal-hal menarik yang agaknya dapat dipelajari dari
Musashi. Ia seorang yang sederhana, rendah hati yang bermain bersih tanpa
kecurangan. Musashi keras hati dalam melatih diri dan dalam menimba ilmu
berbagai aliran, karena menyadari ia bukannya tak mungkin terkalahkan. Ia
menekankan pentingnya timing (ketepatan waktu) dan ritme dalam segala hal.
Masuk terlalu cepat atau terlalu lambat dalam pertarungan dipandangnya dapat
mengundang persoalan tersendiri. Kemudian perubahan yang terjadi di "langit"
dan "bumi" bukan saja harus dicermati melainkan mesti pula diadaptasi untuk
keselamatan diri. Juga baginya ilmu pengetahuan itu adalah sebuah "lingkaran
bulat". Artinya, kalau kita bermula dari titik A, setelah melingkar penuh
kita akan kembali ke titik A semula. Apa yang dianggap paling elementer
adalah juga pelajaran yang paling penting.
Yang lebih menarik lagi, kemampuannya untuk membaca waktu. Setelah mencapai
usia 29 tahun, ia memutuskan untuk berhenti menjadi petarung. Kemudian ia
mentransformasikan dirinya menjadi seniman dan pada usia yang lebih lanjut
ia memutuskan untuk menjadi pemikir mengenai Jalan Strategi. Keputusannya
untuk pindah jalur dan beralih profesi pada saat yang tepat itu memang
memerlukan ketajaman intuisi yang luar biasa. Agaknya, ini juga yang membuat
ia menjadi petarung kehidupan yang tak terkalahkan. Ia mengatur dan bukannya
diatur oleh waktu kehidupan.
(Indra Gunawan)
Dilahirkan di dusun Miyamoto tahun 1584, Musashi sesungguhnya seorang ronin,
samurai gelandangan yang tak bertuan. Sejak usia tujuh tahun, ia hidup tanpa
orang tua, ibunya sudah menutup mata, sedangkan si ayah tak diketahui
keberadaannya. Mungkin juga ia telah ikut meninggal dunia. Musashi yang
menumpang tinggal di rumah pamannya, tumbuh menjadi pemuda yang berkemauan
keras dengan sosok tubuh melebihi usianya.
Tanpa diketahui jelas asal-muasalnya, tiba-tiba saja Musashi telah mahir
bermain kendo, ilmu pedang khas Jepang. Pada usia 13 tahun, ia sudah
menantang duel Arima Kihei, seorang samurai dari aliran Shinto Ryu. Lawannya
itu dirobohkan dan dipukulinya dengan tongkat hingga binasah. Kemudian pada
usia 16 tahun, ia berkelahi dengan seorang samurai tangguh dan kembali
muncul sebagai pemenang. Mulai saat itu, ia memutuskan pergi bertualang
mengikuti "Jalan Pedang".
Menurut satu kisah, tak lama kemudian Musashi terlibat dalam perang
habis-habisan antara kubu daimyo (tuan tanah) Ieyasa melawan klan Hideyori
dengan para pengikutnya. Tempat pertempuran di padang besar Seki ga Hara.
Konon dalam pertempuran tiga hari itu tercatat 70.000 orang tewas; Musashi
sendiri di pihak pasukan yang kalah berhasil meloloskan diri.
Satu versi lebih jauh menyebutkan, Takuan, seorang pendeta Zen dengan
kecerdikannya kemudian berhasil "menawan" Musashi di sebuah sel gelap di
puri milik yang dipertuan Ikeda. Di sana selama tiga tahun, Musashi ditahan
untuk mendalami bertumpuk-tumpuk dan beragam buku. Mulai dari seni perang
dari Sun Tzu, buku-buku mengenai Zen hingga ke berjilid-jilid kitab mengenai
sejarah Jepang.
Takuan, guru rohaninya, yang kerap bersikap keras itu menasihati Musashi
dengan kata-kata penuh makna:
"Anggaplah kamar ini sebagai rahim ibumu dan bersiaplah untuk lahir kembali.
Kalau kau melihatnya hanya dengan matamu, tak akan kau melihat apa-apa
kecuali sel yang tak berlampu dan tertutup. Tapi pandanglah lebih saksama,
lihatlah dengan akalmu dan berpikirlah. Kamar ini dapat menjadi sumber
pencerahan, pancuran pengetahuan yang ditemukan dan diperkaya oleh
orang-orang bijak di masa lalu. Terserah padamu, apakah kamar ini menjadi
kamar kegelapan ataukah kamar penuh cahaya". (lihat novel Musashi, karya
Eiji Yoshikawa dalam terjemahan Tim Kompas).
Ternyata Musashi yang terkenal bandel dan liar itu mau patuh menjalani
penggemblengan berat tersebut. Setelah melewati masa pembelajaran tiga
tahun, ia dibebaskan dan boleh berkelana lagi. Saat itu usianya 21 tahun.
Dalam kembaranya menjelajahi berbagai provinsi, ia terlibat banyak
pertarungan dengan para master samurai. Bukan sekadar jagoan, tetapi yang
dihadapi adalah para jawara sejati. Yang namanya telah kesohor di seantero
negeri dan membuat lawan sebelumnya sudah keder. Toh Musashi tak pernah
kenal gentar. Satu per satu mereka dihadapi dan dipecundanginya. Tak peduli
apakah mereka itu jago permainan pedang, juara tombak kembar ataupun ahli
silat gabungan rantai dengan sabit. Dalam berbagai duel itu, Musashi tak
selalu memakai pedang sungguhan, kadangkala ia hanya menggunakan pedang kayu
pendek. Tampaknya manusia di belakang senjata itu lebih menentukan dari
kecanggihan alat yang dipakai.
Selama kurun usia 13 sampai 29 tahun, Musashi telah terlibat duel tidak
kurang dari 60 kali. Sejauh itu, ia senantiasa muncul sebagai pemenang tak
terkalahkan. Namanya menjadi legenda dan disebut-sebut dalam banyak kronik,
catatan harian dan cerita rakyat dari Tokyo sampai Kyushu.
Sewaktu mendekati umur 30 tahun, Musashi memutuskan berhenti berkelahi. Ia
lebih terlibat dalam pendalaman dan perenungan mengenai prinsip-prinsip dan
strategi Jalan Semesta (Tao). Menengok kembali jalan kehidupannya ia
berujar: "Kemenangan-kemenangan yang lalu bukan disebabkan, karena saya
menguasai betul strategi. Mungkin itu lebih banyak oleh kemampuan alami atau
Hukum Langit ataupun strategi perguruan lain yang kurang bagus (inferior)".
Setelah berhenti bertarung, siang dan malam Musashi melakukan pencarian ke
dalam diri dan baru menemukan Jalan Strateginya pada usia 50 tahun. Ia
menyimpulkan, bila kita telah menguasai Tao Strategi, tak ada hal lain yang
tak dapat kita pahami. Katanya pula, "Anda akan melihat Tao itu di dalam
segala sesuatunya."
Musashi pun secara konsekuen ingin membuktikan ucapannya itu. Setelah
berhenti menjadi petarung, ia menekuni seni lukis dan seni patung.
Karya-karyanya dengan tinta dan pit dihargai tinggi di Jepang. Ia melukis
naga, para dewa, burung, bangau, bunga, pohon dengan taksu atau kekuatan
dalam. Buah karyanya dianggap hidup dan indah, hasil dari penyaluran energi
batin yang terfokus. Sepertinya kalau inti dasar kehidupan sudah diketahui,
kerja yang lain juga dapat dipahami.
Dalam usia 59 tahun ia mengundurkan diri dari kehidupan orang ramai. Ia
hidup menyendiri di sebuah gua sembari melakukan permenungan dalam. Kemudian
Musashi menuangkan hasil pergumulan batin dan raganya itu dalam sebuah buku
berjudul Go Rin No Sho atau Kitab Lima Cincin. Ia menyelesaikan buah
kalamnya itu beberapa minggu sebelum ia meninggal dunia (61 tahun).
Kini karyanya itu sudah muncul dalam berbagai versi terjemahan bahasa
Inggris: A Book of Five Rings. Di antaranya dialihbahasakan dan diberi bumbu
oleh Victor Harris (1974) atau tanpa disertai komentar oleh Thomas Cleary
(1993).
Menilik isinya, tampaknya Musashi ingin menyatu-padukan strategi perang atau
tarung tanding (duel) itu dengan Jalan Kehidupan Semesta yang mesti
ditapaki, kalau ingin berhasil. Yang ditulis bukan semata-mata teknik atau
keterampilan berkelahi, melainkan juga falsafah mengenai bushido
(kesatrian), pengenalan diri sendiri dan orang lain, kedisiplinan tinggi
dalam berlatih, memahami secara intuitif hal-hal yang tak kasat mata,
hati-hati dengan batu sandungan termasuk kerikil dan sebagainya. Jelas
falsafah hidup yang melatarbelakangi pandangannya berasal dari Zen, Shinto,
dan Konfusianisme.
Dalam tiga dekade terakhir ini yang paling banyak menimba inspirasi dari
Kitab Lima Cincin itu adalah para pebisnis dan kaum manajer. Khususnya dari
Jepang dan Amerika. Keluasan visi, ketajaman strategi, kejernihan sikap,
kepegasan gerak, dan ketepatan waktu dalam bertindak menjadi satu kesatuan
yang melebur, membaur tak terpisahkan. Isi buku itu memang mengandung makna
yang berlapis-lapis yang menarik dijadikan titik tolak memahami strategi dan
perilaku tokoh lain. Bahkan ada yang menganggap Kitab Lima Cincin itu
sebagai jawaban Jepang terhadap konsep MBA Amerika.
Para Pendekar Bisnis Kita
Musashi sebenarnya lebih layak untuk disebut sebagai seorang otodidak. Ia
sendiri yang membimbing dirinya untuk mendalami berbagai macam ilmu. Salah
satu sumber yang banyak ditimbanya niscaya adalah buah pikiran Sun Tzu.
Dikenal sebagai ahli strategi besar-kalau bukan yang terbesar-Sun Tzu hidup
hampir 2000 tahun mendahului Musashi (400-320 tahun sebelum Masehi). (Saya
suka berpikir betapa hebatnya orang-orang kuno seperti Lao Tse, Konfusius,
Socrates, Sun Tzu, sementara kebanyakan dari kita yang hidup pada milenium
ketiga ini cuma segini-gini saja.)
Kalau Musashi mendekati strategi melalui contoh-contoh dari tarung-tanding
(duel), Sun Tzu lebih membahasnya lewat skenario peperangan. Ada beberapa
kalimat dari kitab Seni Berperang (The Art of War) Sun Tzu yang amat
membekas di hati Musashi. Selama tiga tahun dalam masa penempaan, Musashi
kerap membacanya secara lantang berulang-ulang dengan alunan bagaikan
nyanyian:
"Barangsiapa mengenal seni perang, tak akan serampangan ia dalam gerakannya.
Ia kaya karsa dalam membatasi kemungkinan. Karenanya Sun Tzu berkata,
'Barangsiapa mengenal dirinya sendiri dan mengenal musuhnya, ia senantiasa
menang dengan mudah. Barangsiapa mengenal langit dan bumi, ia menang atas
segalanya.''"( Musashi, karya Eiji Yoshikawa, alih bahasa Tim Kompas).
Dalam versi terjemahan lain dari buku Sun Tzu, ia dapat berbunyi "Kenali
musuhmu, kenali dirimu sendiri dan kemenanganmu tak akan terancam. Kenali
medan, kenali iklim, maka kemenanganmu akan lengkap".
Buah kalam Sun Tzu itu sudah terlalu banyak diterjemahkan dan ditafsir,
bukan saja oleh ahli militer melainkan juga oleh para pakar manajemen.
Misalnya oleh profesor Wee Chow Hou (Sun Tzu, War & Management, Sun Zi Art
of War) dan lewat serangkaian buku tipis Khoo Keng-Hor, konsultan dan
pembicara spesialis Sun Tzu, oleh Thomas Cleary, Donald Krause, dan
sebagainya. Mungkin karena sudah begitu merebaknya ungkapan mashur Sun Tzu
itu, untuk orang awam ia sepertinya sudah kehilangan daya getarnya. Betapa
betulnya frase itu, tetapi bagi banyak orang yang sudah kerap mendengarnya,
ia dianggap "biasa", "telah dimengerti" atau bahkan "sudah basi". Kecuali
bagi pribadi-pribadi seperti Musashi yang mengulangi kata-kata kebenaran
tanpa rasa bosan, menghayatinya dengan kegairahan senantiasa dan kemudian
menjalankannya dengan konsekuen. Tampaknya ini yang membuat ia menjadi
petarung kehidupan yang tak terkalahkan.
Dari berbagai buku, majalah dan harian kerap muncul kisah sukses dari
bermacam-macam orang. Sejumlah di antaranya berasal dari para petarung
bisnis yang cerita suksesnya kerap bermula dari keadaan papa, melarat hingga
menjadi baron kaya-raya (from rags to riches).
Demikian dapat dibaca kisah hidup dari para pebisnis dunia dan juga sejumlah
jago lokal. Bermunculan nama-nama seperti Bill Gates, Sam Walton, Warren
Buffet, Matsushita, Soichiro Honda, Akio Morita hingga Sudono Salim, Eka
Cipta, Mochtar Riadi, Ciputra, Hari Darmawan, dan sebagainya. Sebelum krisis
moneter yang menerpa negeri ini mulai kuartal keempat tahun 1997, hampir
setiap hari terbaca di koran, bagaimana beberapa kelompok setiap kali
melakukan investasi baru dalam skala besar. "Duit mereka seperti tak ada
habis-habisnya," demikian pikir saya tanpa mengerti juntrungannya.
Terlepas dari perbedaan besar, saya coba menarik persamaannya. Sama seperti
Musashi, mereka rata-rata adalah manusia yang memiliki kemauan keras, energi
tinggi dan rasa percaya diri yang tebal. Sebagai wiraswasta, orientasi
mereka memang pada nilai ekonomi, sebagaimana kaum politisi coba mengejar
tampuk kekuasaan. Atau kelompok seniman berupaya meraih keindahan, sementara
para ilmuwan berkiblat pada nilai kebenaran. Ini kalau kita bicara yang
sejatinya, sebab dalam kenyataan, kerap terjadi pencampur-adukkan berbagai
nilai-yang dapat menguntungkan atau malah merugikan.
Kemudian lambat-lambat saya mengetahui, mereka itu menerapkan formula ajaib
"OPM" (Other People's Money). Dengan memanfaatkan uang pihak ketiga
(investor, pasar modal, bank, obligasi) mereka dapat melesat tinggi bagaikan
roket. Dengan kekuatan sendiri, kita mungkin dapat mengangkat benda sampai
sejumlah kilo, tetapi dengan pengungkit (leverage) orang dapat
melipatgandakan kekuatannya. Sebenarnya, formula OPM bukanlah hal baru, di
Barat orang sudah mengenalnya sejak lama, sejak berdirinya lembaga-lembaga
keuangan. Namun, yang istimewa di Indonesia, orang melakukannya dengan
nekad, malah dengan metode mark-up (menaikkan perhitungan), mereka dapat
mengeruk seketika keuntungan ekstra.
Kunci suksesnya sebenarnya terletak pada perhitungan yang teliti dan
kepekaan untuk membaca perubahan musim, cuaca dan medan. Sewaktu negeri ini
ditimpa krisis moneter, sejumlah pendekar bisnis kita-yang melesat dengan
OPM-langsung jatuh bergelimpangan. Selama ini mereka hidup dalam situasi
semu yang berkepanjangan. Stabilitas politik, ekonomi, sosial, semuanya
serba semu. Ketika momen kebenaran (moment of truth) berupa penyesuaian
nilai tukar rupiah terhadap dolar terjadi, mereka benar-benar terpelanting.
Berhubung lama hidup terbenam dalam kesemuan, sudah hilang kepekaannya dalam
menyiasati perubahan "langit" dan "bumi". Maksudnya, perubahan berupa
bergeraknya siklus bisnis, struktur pasar, resesi, krisis regional, dan
dampak lingkungan sekitarnya.
Sewaktu revolusi "tom yam kun" (krisis moneter) meletus di Muangthai Juni
1997, para pendekar bisnis kita rata-rata hanya duduk anteng. Padahal, ada
waktu antisipasi hampir enam bulan sebelum krisis itu menjalar ke Indonesia.
Yang mereka sadari hanya kekuatannya berupa kelicinan dan kepercayaan diri
besar ditambah dengan jaringan koneksinya yang luas. Kurang disadari di
balik kekuatannya itu melekat sejumlah kelemahan besar. Semboyan yang biasa
dianut adalah "semua itu bisa diatur". Rekayasa intens dijalankan dengan
mengabaikan berlakunya hukum-hukum alam. Ini jauh berbeda dengan Musashi
atau Sun Tzu yang senantiasa siaga terhadap kelemahan diri dan kemungkinan
yang terburuk.
Sekalipun demikian, saya tak senantiasa setuju dengan tafsir atas Sun Tzu
atau Musashi. Sepertinya analogi perang atau tarung pedang itu tak selalu
sejalan dengan persaingan di dunia bisnis. Ada kompetisi, tetapi ada juga
koopetisi. Kawan dan lawan dapat saja bertukar tempat tergantung posisinya.
Garis yang tegas kadang juga susah ditarik. Misalnya, ada kerja sama dengan
mitra bisnis, tetapi sekaligus bukan tak mungkin di dalamnya ada persaingan
terselubung. Bahkan dalam satu grup perusahaan, "tendang-menendang" kerap
juga terjadi. Hal ini tak selalu bermula dari itikad ingin bermusuhan,
tetapi lebih karena masing-masing ingin maju mengembangkan diri. Senantiasa
memang ada ketegangan antara dinamika dengan ketertiban.
Walaupun begitu, ada hal-hal menarik yang agaknya dapat dipelajari dari
Musashi. Ia seorang yang sederhana, rendah hati yang bermain bersih tanpa
kecurangan. Musashi keras hati dalam melatih diri dan dalam menimba ilmu
berbagai aliran, karena menyadari ia bukannya tak mungkin terkalahkan. Ia
menekankan pentingnya timing (ketepatan waktu) dan ritme dalam segala hal.
Masuk terlalu cepat atau terlalu lambat dalam pertarungan dipandangnya dapat
mengundang persoalan tersendiri. Kemudian perubahan yang terjadi di "langit"
dan "bumi" bukan saja harus dicermati melainkan mesti pula diadaptasi untuk
keselamatan diri. Juga baginya ilmu pengetahuan itu adalah sebuah "lingkaran
bulat". Artinya, kalau kita bermula dari titik A, setelah melingkar penuh
kita akan kembali ke titik A semula. Apa yang dianggap paling elementer
adalah juga pelajaran yang paling penting.
Yang lebih menarik lagi, kemampuannya untuk membaca waktu. Setelah mencapai
usia 29 tahun, ia memutuskan untuk berhenti menjadi petarung. Kemudian ia
mentransformasikan dirinya menjadi seniman dan pada usia yang lebih lanjut
ia memutuskan untuk menjadi pemikir mengenai Jalan Strategi. Keputusannya
untuk pindah jalur dan beralih profesi pada saat yang tepat itu memang
memerlukan ketajaman intuisi yang luar biasa. Agaknya, ini juga yang membuat
ia menjadi petarung kehidupan yang tak terkalahkan. Ia mengatur dan bukannya
diatur oleh waktu kehidupan.
(Indra Gunawan)
Page 1 of 1
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum
Sun Jun 08, 2014 7:04 am by fylbfeli
» DOWNLOAD Rupesh Cartel \Anchor Baby\" (2009)"
Sat Jun 07, 2014 10:55 am by fylbfeli
» CARTOON SEX Indian House Wife Savita Bhabhi Bra Salesman Rar
Fri Jun 06, 2014 10:07 pm by fylbfeli
» CARTOON SEX Indian House Wife Savita Bhabhi Bra Salesman Rar
Fri Jun 06, 2014 10:02 pm by fylbfeli
» Tuning Avto
Fri May 30, 2014 2:13 am by fylbfeli
» Alawaren Azgard Defence
Fri May 30, 2014 1:23 am by fylbfeli
» Opera 11.50
Wed May 28, 2014 12:24 am by fylbfeli
» Flavia-Del-Montes-Full-body-licious
Tue May 27, 2014 9:34 pm by fylbfeli
» Peace Love Productions Filter House Loops & Samples
Sat May 24, 2014 8:11 am by fylbfeli